oleh: Cahyadi Takariawan
“Orang-orang yang
berkumpul karena cinta saja masih bisa menimbulkan kekecewaan, bagaimana dengan
orang-orang yang kumpul karena kecewa ?” demikian pesan yang saya tulis di
dinding fesbuk saya, beberapa waktu yang lalu. Apa yang ingin saya sampaikan
dalam pesan tersebut ?
Pesan utama saya
adalah tentang mengelola perasaan kecewa, maaf beribu maaf, beberapa postingan
saya di blog ini telah menyampaikan pesan yang sama. Namun saya masih sering
menjumpai keluhan kekecewaan, termasuk hari Ahad kemarin (11 September 2011),
saat saya menghadiri acara Syawalan para aktivis dakwah di GOR Giri Wahana,
Wonogiri, Jawa Tengah.
Saya mendapatkan sms
cukup panjang dari seorang sahabat, yang tengah mengalami kekecewaan yang
mendalam dengan komunitasnya, beberapa menit sebelum saya harus “naik panggung”
untuk memberikan Tausiyah Syawal. Saya
cukup tersentak dengan isi sms tersebut, karena sangat lama tidak bertemu
dan tidak mendengar berita tentang sahabat yang satu ini. Tiba-tiba
mengirim pesan sms yang isinya ungkapan kekecewaan.
Mengapa muncul
kecewa ? Kita mulai dari yang paling sederhana. Dalam proses pernikahan,
bersatunya seorang lelaki dan seorang perempuan dalam bahtera rumah tangga,
diikat dengan kuat oleh rasa cinta. Mereka saling mencintai, maka mereka melangkah bersama membangun keluarga,
dan merajut berbagai harapan dan cita-cita. Di tengah jalan, dua orang yang
saling mencinta ini, bisa saling kecewa. Suami kecewa terhadap isteri, dan
isteri kecewa kepada suami.
Orang tua dan anak-anak dalam sebuah keluarga,
tentunya mereka saling mencinta. Mereka berada dalam sebuah biduk rumah tangga,
saling mencintai dan menyayangi satu dengan yang lain. Namun, anggota keluarga
yang saling mencintai ini dalam perjalanannya bisa saling kecewa. Orang tua
kecewa dengan anak-anak, atau anak-anak kecewa kepada orang tua. Bahkan di
antara anak-anak, bisa muncul kekecewaan sesama mereka. Bukankah mereka
berkumpul dengan ikatan dan energi cinta ? Ternyata masih bisa memunculkan
perasaan kecewa di antara orang-orang yang saling mencinta.
Dakwah dibangun dengan ikatan cinta. Gerbong
dakwah melaju dengan berbagai proses dan dinamika, menuju harapan dan cita-cita
yang telah dicanangkan. Dalam perjalanan inilah muncul friksi, muncul perbedaan
pandangan, muncul gesekan satu dengan yang lain. Di antara orang-orang yang
saling mencinta, akhirnya muncul perasaan kecewa. Muncul tuduhan, muncul
praduga, muncul syak wasangka.
Nabi saw adalah manusia pilihan, tanpa cacat dan
cela sebagai seorang teladan. Para sahabat adalah generasi pilihan, yang
menjadi generasi terbaik sepanjang sejarah Islam. Namun para sahabat sempat
memiliki simpanan kekecewaan sesaat setelah Perjanjian Hudaibiyah selesai
dikonstruksi Nabi saw dan Suhail. Lihat ekspresi kekecewaan mereka. Tiga kali
Nabi saw memerintahkan, tak seorangpun dari para sahabat yang melaksanakan.
Hanya dalam peristiwa Perjanjian Hudaibiyah ini saja peristiwa itu mengemuka,
tak pernah ada kejadian yang serupa.
Kita juga ingat gumpalan kekecewaan sebagian
sahabat dalam kisah pembagian harta seusai perang Hunain. Abu Sufyan bin Harb,
tokoh penentang Islam sejak awal dakwah di Makah itu, telah mendapatkan bagian
seratus ekor unta dan empat puluh uqiyah perak. Demikian pula Yazid dan
Mu’awiyah, dua orang anak Abu Sofyan, mendapat bagian yang sama dengan
bapaknya. Kepada tokoh-tokoh Quraisy yang lain beliau memberikan bagian
seratus ekor unta. Adapula yang
mendapatkan bagian lebih sedikit dari itu, hingga seluruh harta rampasan habis
dibagikan.
Melihat pembagian
itu, para sahabat Anshar memandang lain. Muncullah gejolak di kalangan sahabat
Anshar, hingga seorang di antara mereka berkata, ”Mudah-mudahan Allah
memberikan ampunan kepada RasulNya, karena beliau telah memberi kepada orang
Quraisy dan tak memberi kepada kami, padahal pedang-pedang kami yang menitikkan
darah-darah mereka.” Adapula di antara mereka yang berkata, “Rasulullah
sekarang telah menemukan kembali kaum kerabatnya.”
Dalam kisah
“pembangkangan” para sahabat usai Perjanjian Hudaibiyah dan kekecewaan usai
Perang Hunain, semua berakhir dengan sangat indah dan cepat. Nabi saw sebagai
qiyadah menyelesaikan suasana dengan sangat tepat, sehingga kekecewaan tidak
membesar dan menjalar. Ini karena kepribadian Nabi sebagai manusia pilihan yang
dikuatkan dengan wahyu, sehingga beliau tidak akan salah langkah. Tindakan
beliau selalu tepat.
Jika Kanjeng Nabi
yang tanpa cela saja masih mendapatkan lontaran kekecewaan, bagaimana dengan
kita yang sama sekali bukan Nabi, bukan pula sahabat Nabi, bukan muridnya para
sahabat, bukan pula murid para tabi’in…. Jika sahabat Nabi saya masih bisa
menyimpan kekecewaan, bagaimana dengan kita yang tidak memiliki kualitas
sebagai sahabat Nabi….
Kita hidup di zaman cyber, semua kejadian, semua
peristiwa, semua kondisi dengan sangat cepat tersebar. Sangat cepat,
tanpa batas, tanpa jeda waktu. Melalui emai, milis, twitter, fesbuk, blackberry
messenger, sms, telpon dan lain sebagainya. Semua, apa saja terberitakan. Sayang, banyak yang tidak bisa membedakan
mana data dan mana analisa. Semua berita yang muncul di internet dan dunia maya
dianggap kebenaran.
Di tengah kita tidak ada Kanjeng Nabi. Tatkala
berbagai berita berseliweran tentang qiyadah, tentang dakwah, tentang jama’ah,
dan tentang “segala sesuatu” yang cenderung menjadi gosip, sikap kita hendaknya
mencontoh perilaku Kanjeng Nabi dan para sahabat beliau. Tentu saja tidak akan
bisa sama sepenuhnya, namun jangan sampai lepas dari contoh keteladanan mulia
mereka.
Apa keteladanan mulia dari mereka ? Sangat banyak
tentu saja. Pertama, landasan hubungan di antara Nabi dengan para sahabat
adalah cinta kasih. Cinta dan kasih sayang timbal balik, telah terbentuk sangat
kuat antara para sahabat dengan Nabi. Ini yang menyebabkan bahasa hati mereka
selalu menyambung, selalu bertemu, selalu berada dalam kebersihan dan kebaikan.
Kedua, didahulukannya sikap husnuzhan kepada
qiyadah. Kendati ada kekecewaan, mereka tetap memiliki sikap yang positif
sehingga mudah mendengarkan penjelasan dari Nabi. Mereka mudah mendengar dan
menerima penjelasan Kanjeng Nabi, tanpa membantah dan menggerutu di belakang.
Ini karena sikap positif yang mereka miliki, selalu tsiqah dengan qiyadah.
Ketiga, para sahabat tidak membesar-besarkan dan
mendramatisir permasalahan, sehingga masalah berada dalam ruang lingkup yang
terbatas. Mereka tidak mengorganisir kekecewaan untuk dijadikan alasan
memberontak atau tidak setia kepada qiyadah. Kisah kekecewaan para sahabat di
Hudaibiyah sangat natural, tidak digerakkan, tidak diorganisir oleh seseorang. Kisah
kekecewaan paska perang Hunain segera terlokalisir dengan disampaikannya hal
tersebut kepada Nabi saw.
Keempat, mereka
tidak mengungkit-ungkit lagi permasalahan tersebut setelah selesainya kejadian.
Setelah permasalahan selesai, clear, terang benderang, mereka kembali
berkumpul, berjama’ah, berkegiatan bersama, seperti tidak pernah ada kejadian
sebelumnya. Mereka tidak lagi mengungkit-ungkit “si Fulan dan si Falun ini dulu
pernah melontarkan kekecewaan kepada Nabi”. Persoalan selesai, maka mereka
kembali bersama seperti semula. Tidak ada dendam, tidak ada permusuhan yang
terwariskan. Tidak ada sakit hati yang tersimpan.
Jadi, kita hanya perlu duduk bersama. Mendengarkan
bagian-bagian cerita, merangkai berbagai peristiwa, mencoba membuat sederhana
hal-hal yang seakan-akan dibuat dan tampak sedemikian rumitnya. Jika memang ada
yang terbukti melakukan kesalahan, tentu saja perlu diberikan teguran atau
sanksi sesuai aturan organisasi dan sesuai tingkat kesalahan yang dilakukan.
Namun jika yang terjadi hanyalah kesalahpahaman, maka tidak ada yang perlu
diteruskan atau diperpanjang lagi. Semua sudah selesai, clear, dan saling
memaafkan atas hal yang tidak pada tempatnya.
Jadi, tidak perlu membuat perkumpulan karena
kekecewaan. Tidak perlu membuat organisasi karena sakit hati. Tidak
perlu konsolidasi untuk menyatukan pihak-pihak yang merasa kecewa atau merasa
terzalimi. Karena perkumpulan
seperti apa yang akan terbentuk, dari jiwa-jiwa kecewa ? Organisasi seperti apa
yang akan muncul, dari hati-hati yang menyimpan benci ? Toh kelak ketika
terbentuk organisasi, pasti ada yang kecewa lagi.
Mari duduk saja bersama-sama. Membingkai
hati, mengeja keinginan jiwa. Berbicara
dengan bahasa ruhani, bukankah kita semua ini para kader yang saling mencinta ?
Bukankah kita semua telah berikrar untuk selalu berada di jalanNya ? Termasuk
ketika menyelesaikan permasalahan ? Bukankah kita semua sangat mencintai jalan
dakwah ini ? Lalu mengapa harus mengambil langkah sendiri hanya karena tidak
bisa memahami keputusan organisasi ?
Wallahu a’lam. Saya hanya sulit mengerti, mengapa
ada organisasi yang didirikan karena kekecewaan dan sakit hati. Padahal,
aktivitas yang dirintis dengan sepenuh cinta saja, masih bisa menumbuhkan rasa
kecewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar